“Kruk, kruk.” Bunyi keroncong perut kak Fany memecahkan
keheningan.
“Kamu sudah lapar Fan? Tadi jam 12 siang kan kita sudah makan.”
Kak Rita bertanya kepada kak Fany sembari mengerjakan tugasnya.
“Iya, hehe. Biasalah, kalau sudah jam tiga sore begini
waktunya makan camilan,” balasnya dengan raut malu.
“Ya sudah deh, ayo kita cari camilan,” ajak kak Rita sambil
membereskan laptop dan buku-buku yang berceceran.
“Tunggu kak, Tira selesaikan dulu tugasnya. Sebentar lagi
siap kok,” pintaku kepada mereka berdua yang sudah berdiri dan bersiap-siap
untuk pergi.
“Bukannya kamu sudah libur? Kok masih ada tugas lagi Tir?” tanya
kak Rita.
“Ini bukan tugas sih kak. Lebih tepatnya naskah untuk lomba.
Ya, hitung-hitung isi waktu liburan dengan ikut lomba biar produktif.” Aku
menjelaskan kepada mereka yang tampaknya meremehkan.
“Kamu buat apa Tir?” tanya Kak Fany sambil berjalan
mendekatiku.
“Buat cerpen kak... Alhamdulillah, akhirnya sudah selesai. Nanti
tinggal revisi lagi,” ucapku dengan penuh rasa lega. Aku langsung melipat
laptop dan mengganti baju karena mereka telah menunggu.
Selain mengikuti tes masuk perguruan tinggi di Semarang, aku
juga memanfaatkan waktuku di sini untuk menjelajahi kota Semarang. Untung saja
kak Fany dan kak Rita senang hati mau menemaniku menelusuri Kota Lumpia. Aku
pun tidak ingin melewatkan kesempatan ini dengan sia-sia.
“Eh, kita makan lumpia yuk. Tiba-tiba jadi kangen lumpia. Kangen
tempatnya juga sih yang paling nyaman tiada duanya. Lagi pula, Tira kan belum
pernah ke sana,” ajak Fany kepada Rita agar ia mau makan lumpia.
“Lebih bagus mana tempatnya kalau dibandingkan dengan kafe
yang ada di Korea?” canda Kak Rita sambil menyetir mobilnya.
“Ah kamu mah Korea terus. Tempat makan lumpia juga tak kalah
estetiknya kok,” respons kak Fany tidak mau kalah.
“Iyain saja deh Fany. Kita ikuti saja kemauannya. Ya enggak
Tir?”
“Iya kak. Hehe.” Aku ikut mengiyakan saja agar tidak terjadi
perdebatan lagi. Lagi pula, aku juga sudah lama tidak makan lumpia dan penasaran
juga dengan tempat makannya.
***
Kami keluar dari mobil karena telah tiba di tujuan. “Mau
pesan yang mana Tir?” tanya Fany kepadaku. “Lumpia jamur kak.” Kupilih lumpia
jamur karena aku memang menyukai jamur. Mereka akhirnya memesan lumpia jamur dan
lumpia kepiting.
“Kak, mengapa Semarang terkenal dengan kota Lumpia kak?”
tanyaku kepada mereka berdua sambil menunggu lumpia hadir di meja kami.
“Karena banyak lumpia, haha,” jawab Kak Rita sambil tertawa.
“Ah kakak, serius nih.”
“Hm, jadi begini. Pada tahun 1800 Thoa Thay Lie merantau ke Semarang
dan membuka usaha makanan khas Tionghoa yang bentuknya hampir mirip dengan
martabak tapi isinya rebung dan daging babi.” Kak Fany menjelaskan secara
rinci.
“Thoa Thay Lie itu siapa Fany? Tira pasti tidak tahu tuh,”
canda Kak Rita sambil memutuskan omongan Kak Fany.
“Ya, dari namany saja pasti sudah tahu kan kalau dia itu
orang Tiongkok,” papar kak Fany dengan wajah menahan sabar.
“Lanjut ya. Seiring waktu, Thoa Thay Lie ini bertemu sama mbak
Wasih, orang Jawa asli yang menjual makanan yang hampir sama tapi bedanya yang mbak
Wasih punya rasanya lebih manis karena isinya kentang dan udang. Sedangkan punya
Thoa Thay Lie rasanya asin dan gurih karena isinya rebung dan daging babi. Mereka
kenal, terus menikah dan menyatukan resep mereka berdua menjadi sekarang ini deh.
Manis dan gurih. Ada lumpia yang isinya rebung, daging ayam, udang, dan bahkan
di sini ada kepiting, dan daging kambing.” Kak Fany melanjutkan penjelasannya
yang membuatku perlahan mengerti.
“Wah asyik ya, mereka menemukan jodoh karena persamaan usaha
yang dibangunnya,” sahutku.
“Bagaimana? Kamu suka kan sama lumpianya?” ejek Kak Rita.
“Iya kak, selain suka sama rasa lumpianya yang enak, Tira
juga suka sama sejarahnya yang berasal dari cinta,” kelakarku.
“Makanya, jangan suka makan kebab saja kamu. Makanan khas
nusantara juga tidak kalah enaknya kok. Memang kamu tahu, bagaimana sejarah kebab?”
Kak Rita mengejekku lagi. Memang sudah kebiasaannya sejak dulu, selalu mengejek
adiknya yang selisih usianya hanya dua tahun.
“Tidak tahu sih,” balasku dengan rasa malu.
Dan benar saja, sambil menceritakan tentang sejarah lumpia,
tidak terasa di meja tinggal satu. Fany akhirnya memintaku untuk makan. Selain
bentuknya yang besar dan padat, rebung atau bambu muda yang digunakan sebagai isiannya
itu tidak mengeluarkan aroma amis sama sekali. Rasa kagumku terhadap jajanan
khas Semarang ini semakin membuncah saat mengetahui bahwa Lumpia termasuk salah
satu makanan yang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya Nusantara. Memang
benar ya, sebenarnya keanekaragaman budaya di nusantara ini, jika kita kenali
dan dalami, rasa bangga pasti tertanam dalam jiwa kita.
NB: Cerita fiksi ini terinspirasi dari sejarah lumpia,
makanan khas Semarang yang merupakan warisan budaya Nusantara.
saya jadi tahu kalau lumpia adalah perpaduan makanan tiongkok dan indonesia. Tulisan fiksinya keren mbak, mengedukasi.
BalasHapusMasyaAllah, terima kasih mbak
BalasHapus