“Meta.” Terdengar suara dari belakangku yang jaraknya dekat sekali denganku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menoleh ke belakang.
“Deva, Zaki. Hai, apa kabar kalian?” Aku menyapa mereka
sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada saat Zaki hendak mengulurkan
tangannya.
“Alhamdulillah, kami baik. Bagaimana kamu?” tanya Zaki
dengan ekspresi ramah.
“Alhamdulillah baik juga. Oh iya, kalian mau pergi ke mana?”
ucapku sambil berharap semoga saja mereka berdua tidak tersinggung dengan
sikapku tadi.
“Kami mau pergi ke Semarang, Ta. Ke kampungnya Zaki,” sahut Deva,
yang raut mukanya terlihat masih sama seperti tiga tahun yang lalu, meskipun
sekarang lebih gagah berotot dan kumisnya sudah tebal seperti om om. Ah, aku
jadi teringat kalau dulu semasa SMA ia yang sering dipanggil om Deva karena
kumisnya yang tebal dan sikapnya yang cukup dewasa menurutku.
“Oh, ini kami juga mau pergi ke Semarang.” Ninda tiba-tiba menyela
percakapan kami.
“Ya sudah, saeng lah kita,” kata Zaki. Setelah itu,
kami langsung memfokuskan urusan kita masing-masing karena tinggal menunggu dua
orang di depan kita yang sedang check-in.
“Zaki, Deva. Kami ke atas duluan ya. Sampai jumpa di ruang
tunggu.” Aku izin kepada mereka untuk pergi ke lantai atas terlebih dahulu
karena aku dan Ninda berencana mau mampir ke toilet dulu.
***
Setelah ke luar dari toilet, kami menuju ke tempat duduk
yang tidak jauh dari tempat duduknya Deva dan Zaki.
“Eh, ayo lah Va kita ke toilet,” ajak Zaki kepada Deva.
“Yuk lah, Ki. Meta, jagakan tempat duduk kami di sini ya,”
pesan Deva kepadaku.
“Oke Va,” sahutku sambil mengambil sebuah kertas boarding
pass milikku yang kuletakkan di dalam tas.
“Wah, masih ada waktu kurang lebih satu jam. Bisa lah angsur
membuat tugas,” batinku. Aku langsung mengambil telepon genggamku untuk menulis
tantangan menulis yang diadakan oleh komunitas one day one post. Meskipun
nanti kami bakal transit di bandara Soekarno-Hatta juga, tapi mengapa enggak dikerjakan
sekarang saja kalau bisa, kan? Untung saja tas yang besar sudah dimasukkan ke bagasi
pesawat tadi saat check-in. Jadi, kami hanya fokus sama ransel
masing-masing.
“Sibuk amat ya, mbak,” panggil Deva yang tiba-tiba saja
sudah duduk di kursi sebelahku. Saking fokusnya menulis, aku sampai tidak sadar
kalau laki-laki yang memakai atasan dan celana jeans hitam itu sudah ada
di sebelahku.
“Eh, enggak kok. Ini, aku lagi menulis.” Aku membalas
perkataannya dengan singkat karena takut nanti idenya jadi lupa kalau
mengobrol.
“Sudah di perjalanan pun, masih harus mengerjakan tugas
kuliah?” Deva bertanya lagi.
“Tidak loh, Deva. Ini aku lagi menulis untuk komunitas one
day one post. Shut, diam ya Deva, aku lagi mode fokus nih.” Aku mencoba
untuk menghindar secara sopan supaya tidak terus-menerus bertanya kepadaku.
“Ya sudah, tulis lah dulu. Siap-siap ya, 30 menit lagi,”
pesannya.
Aku hanya mengiyakan saja sambil fokus menyelesaikan tulisan
ini. Rencananya sih, setelah menulis ini, aku tidak langsung mengirimnya
terlebih dahulu. Aku ingin mengirim tulisan ini saat di bandara Soekarno-Hatta
nanti kalau sempat.
Aku segera menutup ponselku saat para petugas meminta kami
untuk bersiap-siap naik pesawat. Aku dan Ninda fokus dengan jalan yang akan
kami tuju. Namun, terkejutnya aku saat melihat Deva tiba-tiba duduk di
sampingku. Sedangkan Zaki duduk di bangku sebelah kami yang terpisah oleh jalan
untuk berlalu lalang.
“Deva, kamu di sini?” tanyaku dengan ekspresi tidak tahu.
“Iya, ini,” ucapnya sambil memperlihatkan kertas boarding
pass nya. Memang benar. Dia mendapatkan tempat duduk nomor 23C, Zaki nomor
23D. Sedangkan aku dan Ninda duduk di kursi nomor 23A dan 23B.
Selama pesawat terbang, kami saling diam. Aku membaca buku
sedangkan Ninda yang duduk di samping jendela itu sudah tidur. Aku melihat Deva
hanya diam saja. Tampaknya dia ingin berbicara dengan Zaki, tapi karena sahabatnya
itu duduk di samping jendela membuat mereka berdua sulit untuk berkomunikasi.
“Deva, bagaimana kuliah kamu di Bandung?” tanyaku dengan
suara pelan karena suasana pesawat yang sangat sunyi.
“Alhamdulillah, fine. How’s yours?”
“Perasaan sekarang kamu lebih jago omong pakai bahasa
Inggris deh. Ya, pasti karena lingkungan yang mendukung, kan?” tanyaku.
“Mana ada. Aku tuh hanya latihan bicara saja. Masih jago
kamu lagi, jago matematika, bahasa Inggris. Jadi pas pertama kali masuk kuliah,
aku sedikit menyesal karena tidak ada kamu.” Kali ini omongan Deva membuatku
tak sanggup menahan ketawa. Saking asyiknya mengobrol, kami sampai tidak sadar
kalau pesawat sebentar lagi akan mendarat. Memang aku akui, Deva yang sekarang
lebih supel daripada yang dulu.
“Meta, insyaAllah tulat abangku yang di Bandung mau
nikah. Kamu ikut ya, ajak Ninda juga tuh.”
***
Kami berempat akhirnya menunggu lagi di ruang tunggu. Kali
ini kami berada di bandara Soekarno-Hatta. Setelah semua dari kami sudah salat
zuhur, kami makan siang sesuai bekal yang sudah kami persiapkan sedari pagi
tadi.
“Meta, kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu mau kan ke
Bandung?”
“Hm, aku belum minta izin sama bapak. Kalau bapak kasih
izin, InsyaAllah aku pergi kok.” Aku menjawab dengan jawaban seadanya.
“Nanti kita minta izin sama bapakmu Ta. Kalau perlu ajak
satu keluarga besarmu ke Bandung.” Zaki yang duduk di samping Deva tiba-tiba
menyambung.
“Iya, iya. Lihat saja ya nanti Va. Kami usahakan datang
kok,” ucapku agar Deva tidak kecewa dengan kami.
“Zaki, Deva. Nanti kalian pulang satu mobil sama Kak Nanda
ya. Katanya sih mobilnya masih muat kalau ditambah kalian. Kalian nanti
berhenti di Sekaran kan?” Aku menawarkan bantuan kepada mereka.
“Kalau tidak keberatan, boleh lah Ta. Aku jadi ingat deh ki,
kita pernah ketiduran di bus pas di Bandung, haha.”
“Iya, Va. Kalau ingat itu, betapa kampungannya kita waktu
dulu ya. Naik bus yang ruangannya sejuk dan busa kursinya begitu empuk,
bikin nyenyak tidur.”
“Terus bagaimana kalian bisa bangun?” tanyaku sambil menahan
ketawa. Enak banget bertemu dengan mereka membuatku bisa melepaskan stres
sejenak.
“Kami dibangunkan sama kondekturnya, Ta. Dia bilang begini,
mas, mas mau ke mana?” Zaki menjelaskan sambil ketawa. Kami jadinya ketawa
semua sampai-sampai orang yang lewat pada melihat kita semua.
***
Kami langsung mengambil bagasi setelah tiba di Semarang.
Perjalanan dari Jakarta ke Semarang memakan waktu kurang lebih selama 1 jam.
Setelah mengambil bagasi, kami langsung saja ke luar untuk menemui kakaknya Ninda.
Mobil segera berjalan saat kami semua sudah masuk semua. Setelah selesai
mengantar Zaki dan Deva, kak Nanda mampir ke Toko Susi untuk membeli tepung ararut.
Soalnya kata ibu, stok tepung ararut di rumah sudah tidak banyak. Setiap
pagi bude Yuli sering memasak bubur Garut. Katanya bubur ini bagus untuk
mengobati asam lambung.
“Oh iya kak, kira-kira di rumah ibu masak apa ya?” tanyaku.
“Masak sayur asem, kan itu makanan kesukaan kamu,” jawab kak
Nanda
“Wah, kakak tahu saja deh. Ada biji melinjo nya kan?”
“Ada dong. Kamu pasti rindu sama biji melinjo kan?”
kelakarnya.
“Iya, kak. Sudah lama Meta tidak makan biji melinjo. Jadi, selama kuliah kalau masak sayur asem, tidak pernah ada biji melinjo nya,” ucapku.
Ada aja ya ide nya, dari tadi bertanya-tanya, kira-kura biji mau masuk ke mana nih. Eh ternyata biji melinjo di akhir cerita. Mantap Kak...
BalasHapusWah, makasih kak. Efek terlalu malam bikin ceritanya, jadi ya begini lah. Wkwk
Hapus