“Ma, berdiri ma. Angkotnya sudah mau sampai.” Aku memanggil
mama yang tadinya sedang duduk di bangku kayu panjang sambil memeriksa isi
tasnya. Kakiku melangkah mendekati jalan raya sembari mengayunkan tangan supaya
sopir angkot itu tahu kalau kita akan memasuki transportasi yang bentuknya seperti
antara taksi dan bus.
Seperti biasa, angkot di pagi hari cenderung dipenuhi oleh
anak-anak yang akan pergi ke sekolah. Sesekali juga diisi oleh ibu-ibu yang mau
belanja di pasar. Hari ini, aku dan mama akan pergi ke pelabuhan. Setelah tiba
di pelabuhan, kami menuju ke tempat pembelian tiket yang menjual tiket menuju
ke Batam. Suasana pelabuhan hari ini begitu ramai. Para penjual tiket saling berteriak
sesuai dengan tujuan yang mereka sediakan. Banyak orang yang mendatangi
pelabuhan, entah memang mau berangkat atau hanya sekedar menemani.
“Masih ada waktu 20 menit, nak,” ucap mama sambil
menyodorkan tiketnya kepadaku.
“Iya ma.”
Kali ini, kami akan pergi ke Singapura. Sebuah negara yang
pernah menjadi saksi bisu akan kesedihan kami. Mount Alvernia Hospital
Singapura merupakan tempat terakhir kalinya papa menghembuskan napas. Ah,
kalau ingat itu sungguh membuat kami menangis dan enggan untuk menginjakkan
kaki di sana. Tapi bagaimana pun, kami masih memiliki saudara di sana. Tujuan
kami ke Kota Singa kali ini adalah untuk bersilaturahmi kepada keluarganya
pakcik Saleh. Katanya, insyaAllah mereka bersedia mengajak kami berdua
jalan-jalan supaya mengenal beberapa tempat di negara yang dijuluki sebagai
negeri 1001 larangan.
Sudah tiga tahun lamanya aku tidak ke sana. Meskipun dulu
pernah menginjakkan kaki di sana, tapi aku hanya menghabiskan waktu di rumah
sakit saja sambil menemani papa. Kalaupun keluar ke rumah sakit ya, hanya
pulang ke apartemen pakcik saja. Tidak ada sedikit pun rasa ingin menjelajahi
tempat wisata di sana, karena pikiran dan perasaanku telah diselimuti oleh
kesedihan. Begitu pula dengan mama.
Kami akhirnya tiba di Batam setelah memakan waktu kurang
lebih dua jam. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju ke
Singapura. Kurang lebih 45 menit kami telah tiba di negara tetangga Indonesia
itu. Sesampainya di sana, kami dijemput oleh pakcik dan makcik.
“Dah pada makan belum ni? Nak mampir ke Rumah Makan
Minang tak?” tanya makcik Siti kepada aku dan ibuku.
“Boleh la. Dah waktunya makan siang juga,” sahut mama.
“Kami memang tak masak siang ini. Rencananya nak makan
kat luar. Lagi pula anak-anak juga balek sore,” papar makcik
Siti. Ketiga anaknya itu memang sibuk. Sedari dulu, aku memang jarang menemui mereka.
Pagi hingga sore mereka di luar. Malam baru ada di rumah, itu pun pada di kamar
semua. Mungkin semuanya pada sibuk belajar.
“Nanti kalau mau salat zuhur, singgah saja di Masjid Sultan.
Tempatnya dekat kok sama Rumah Makan itu,” ucap pakcik dengan menggunakan
dialek bahasa Indonesia.
“Masjid Sultan? Ooh, masjid yang megah itu ya?” tanyaku
lebih meyakinkan.
“Iya, itu. Siska tahu ya?” tanya pakcik.
“Siska pernah lihat teman Siska liburan ke sana.
Katanya itu masjid yang pertama kali dibangun di Singapura ya cik?” Aku
bertanya lagi.
“Iye, betul tu. Boleh lah ponakan
pakcik jadi traveler nanti.” Ucapan pakcik kali ini membuatku kami semua
ketawa.
“Ada pulak, pakcik ini,” balasku dengan raut malu.
***
Setelah makan siang dan salat zuhur selesai, kami akhirnya
tiba di apartemen pakcik. Isi dalam rumahnya tetap tidak ada bedanya jika
dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu. Pakcik memiliki hobi yang sama
seperti almarhum papa, yaitu pengoleksi sumpit.
“Dulu, papamu dan pakcik waktu masih muda kan sering
menjelajah ke mana-mana. Kami pernah ke China, Jepang, dan Korea. Setiap dapat
sumpit dari tempat makan sana, kami bawa balek lah,” papar pakcik
sembari menunjukkan sumpit kepadaku satu persatu.
“Iya, almarhum papa juga pernah cerita sama Siska. Sampai
sekarang Siska masih simpan sumpit itu. Melihat sumpit, jadi teringat sama
papa,” ucapku sambil menahan air mata yang hampir membasahi pipi.
“Siska suka pakai sumpit yang mana ni?” tanya Pakcik.
“Siska suka sumpit yang ini. Kalau pakcik suka yang
mana?” Aku menunjukkan sumpit yang berbahan dasar kayu dan ada sedikit corak di
bagian atas sumpit (tempat melekatnya jari).
“Ooh, itu sumpit Jepang. Ujung sumpit dibikin tajam seperti
ini supaya mempermudah melepaskan duri. Tapi di antara tiga ini, sumpit inilah
yang paling pendek,” jelas pakcik sambil memegang sumpit kesukaanku.
“Pakcik suka sumpit Korea. Kalau makan pakai sumpit ini, rasanya
seperti menjadi keluarga raja. Tapi sekarang kebanyakan sumpitnya dibuat dengan stainless
steel. Tinggal satu inilah yang terbuat dari logam, sampai sekarang
pakcik masih sayang-sayang,” lanjutnya sambil menunjukkan sumpit satu-satunya
yang diletakkan di tempat yang tidak semua orang tahu.
“Kalau yang paling panjang ini, sumpit China kan?” Aku
mengambil sepasang sumpit yang bentuknya lebih panjang dan lebih tebal jika
dibandingkan dengan model yang lainnya.
“Pandai ponakan pakcik ni. Ini sumpit China. Yang pertama
kalinya menemukan sumpit ini kan sebenarnya masyarakat Tionghoa. Di bikin
sengaja lebih panjang supaya bisa mengambil makanan yang letaknya jauh. Tapi
ujungnya ini tak terlalu tajam macam model Korea dan Jepang.” Laki-laki yang
usianya setengah abad itu tidak ada bosan-bosannya menjelaskan tentang sumpit.
Seolah-olah ia malah suka kalau disuruh memaparkan benda kesayangannya itu.
“Tring... tring...”
“Siska lihat-lihat dulu ya. Pakcik mau angkat telepon dulu,”
ucap pakcik sambil berjalan ke luar untuk mengangkat teleponnya.
Nb: Bahasa melayu diselipkan dalam cerita ini karena
menggunakan latar di Singapura. Bahasa melayu juga merupakan salah satu bahasa
resmi di Singapura, selain bahasa Inggris, Mandarin, dam Tamil.
Posting Komentar
Posting Komentar