Ini bukan untuk mengenang hari kelahiran kalian. Bukan pula
untuk mengenang hari ulang tahun pernikahan. Apalagi untuk mengenang khusus
hari ayah atau ibu yang berbeda di tiap negara.
Orang-orang itu—yang kuanggap sebagai ayah dan ibuku—memang
tidak seperti orang tua teman-temanku yang mendukung sepenuhnya kemauan putra-putrinya.
Sampai-sampai, aku sempat panas hati tatkala mendengar mereka bercerita tentang
tangga-tangga mereka yang telah disediakan oleh orang tuanya. Mereka tinggal menaikkan
kakinya saja untuk berjalan di tangga itu. Kemudian, orang tuanya menyoraki
dari bawah. Aura kebahagiaan pun terpancar dari raut muka mereka, sebab api-api
motivasi itu sangat membara.
Namun, hal itu tak lagi berlaku bagi diriku sendiri. Aku
harus mencari dulu tangga itu seorang diri. Tanpa kutahu ada di mana. Tanpa ada
suara motivasi yang menyala di bawahku.
Aku hanya menemukan tangga yang letaknya amat jauh dari
tempatku bermula. Membawanya dengan penuh daya, sampai-sampai aku kehabisan tenaga.
Tak lagi kuhiraukan cucuran keringat yang membasahi baju dan raga. Bahkan,
tanganku yang menjadi merah itu tak lagi kuindahkan. Aku terus berjalan sampai
pada tujuan.
Tatkala aku telah tiba dan mencoba mencari tempat yang tepat
untuk menyandarkan tangga itu, kalian baru tiba. Kalian memberikan sedikit
bekal, namun kaya akan sarat. Kali ini, kunjungan kalian tak lama layaknya
mereka. Sebagai modal, kau hanya memberikan beberapa patah kata yang harapannya
mampu membuatku bertahan.
“Menjadi orang hebat dengan lingkungan yang mendukung itu
biasa, tapi menjadi orang hebat dengan lingkungan yang tak mendukung itu luar
biasa.”
Setelah menerima bekal itu, kalian pergi meninggalkanku sendirian
di sini. Dibersamai oleh suara kalian yang terisak-isak itu membuatku meninggalkan
puluhan pertanyaan dalam benak.
Aku mencoba memanggilmu lagi. Bertanya, apakah kalian tak
merestui perjalanan yang akan ditempuh oleh putrimu ini? Sebab, aku takut
sekali bila kau tak merestui. Tuhanku pasti tak akan menyia-nyiakan prosesku ini.
“Tidak nak. Sama sekali tidak. Kami justru menyokongmu. Namun,
kami tak tega melihatmu sengsara seperti itu. Ini sulit lo nak. Mama dan papa
saja tak pernah tahu bagaimana cara menaikinya,” ucap mama sembari menghapus
air-air yang membasahi pipinya itu.
“Tak perlu kau beritahu. Sesungguhnya kami sudah tahu. Kau
begitu menginginkan kehidupan seperti mereka, bukan? Maafkan papa dan mamamu
ini, bila kami berdua tak mampu mewujudkan keinginanmu itu. Kami hanyalah
manusia biasa yang dititipkan amanat yang luar biasa. Usaha kami cuma sampai
sini.” Papa melanjutkan perkataan itu dengan suara lembutnya. Ini bukan
suaranya seperti terdengar seperti biasanya yang tegas dan lugas. Ucapannya
yang terdengar halus dan hampir tidak kedengaran inilah pertama kalinya aku dengar.
Aku membungkam. Tiada sepatah kata yang berani kukeluarkan
di hadapan mereka. Setelah itu aku merenung, apakah aku harus kembali bersama mereka
dan bergantung seutuhnya kehidupanku dengan mereka? Atau aku harus beranjak meski
ini adalah pengalaman yang tak pernah kucoba sebelumnya.
Rasa terenyuh itu membungkus jiwaku yang amat egois ini. Aku
tahu, jangankan aku makhluk yang tidak tahu apa-apa ini. Mungkin saja kalian juga
ingin mendapatkan kehidupan yang sama seperti tangga sebelah. Orang tua mana yang
tidak menginginkan surga demi anaknya? Bahkan saking berharapnya, ia merelakan kehidupannya
di dunia ini penuh akan neraka. Katanya, “Biarlah saya yang menderita, yang penting
anak saya bisa bahagia”. Namun, Tuhan yang lebih tahu segalanya. Keinginan setiap
kesatria tanpa kuda dan malaikat tanpa sayap itu diwujudkan-Nya dalam bentuk yang
berbeda-beda. Tetua bilang, “Engkau tak boleh iri, sebab rezeki telah dibagi.”
Aku tak sanggup menyembunyikan rasa sedu ini di hadapan mereka
berdua. Tanpa kuminta, kedua mataku ini sudah digenangi oleh air mata. Aku mengerti,
bahwasanya mereka memang tidak selalu ada di saat kumau, tapi mereka selalu ada
di saat kubutuh.
Lalu, aku berbisik kepada mereka berdua. Menuturkan perkataan
supaya mampu menyejukkan hati mereka. Mengungkapkan bahwasanya kejerihan dan kepayahan
yang telah mereka lakukan selama ini telah mengantarkanku sampai di gedung ini.
Mungkin iya, mereka tak lagi menemaniku berjuang di gedung ini. Namun, doa mereka
yang jauh sudah cukup membuatku bertahan di sini.
Posting Komentar
Posting Komentar