Kedua netranya menangkap sebuah nukilan rekaman yang
menggambarkan dua insan yang tengah berbahagia. Bukan, ia bukannya panas hati
akan hal itu. Sebab, masa hidupnya belum tiba sampai situ. Terlalu rendah
baginya untuk berada di titik itu. Bekalnya belum mampu untuk mengantarkannya
sampai sana.
Sebuah ucapan yang dilafalkan antara pihak wali dari sang
mempelai wanita dan ditanggapi oleh mempelai pria. Kalimat yang dilisankan oleh
mereka adalah sebuah janji, di masa sejak saat itulah sang ayah menyatakan
ketersediaannya untuk melepaskan putrinya. Setelah melalui berbagai macam rintangan,
ia akhirnya mempercayai lelaki lain untuk menjaga putrinya yang tercinta.
Inilah kesucian cinta. Sejatinya, cinta itu suci. Yang
menodainya adalah nafsu yang tak terkendali. Makanya, ia percaya bahwasanya
tiada istilah cinta kecuali setelah janji yang mengikat mereka. Janji yang
disaksikan oleh Allah subhanahu wa ta ala. Itu sebabnya, Tuhannya sangat melarang
hamba-hamba-Nya untuk melakukan perbuatan itu. Tingkah yang tiada berdampak
kebaikan, malah menorehkan kenistaan.
Namun, beraneka ragamnya keadaan penduduk-penduduk di muka
bumi inilah yang membuat mereka melanggar larangan-Nya. Tak semuanya yang
melanggar itu akan dihakimi sebagai pendusta. Iya, memang ada yang sengaja
melakukannya. Namun, harus diketahui terlebih dahulu apa yang membuat mereka
melanggarnya?
Sering kali manusia bersikap sok tahu, seolah-olah mereka
yang paling tahu dari segalanya. Mereka sok mengatur, seolah-olah setiap
manusia di dunia ini kehidupannya sama. Padahal, kenyataannya enggak. Ada yang
sudah berada di atas terlebih dahulu, ada juga yang masih di bawah. Ada yang
sama-sama mengawali langkah tetapi jalannya tak sama. Ada yang harus melewati
jalan mulus dan rata, namun ada juga yang harus melewati jalan yang berbatu dan
berkelok.
Mereka seolah-olah menghakimi bahwa orang-orang yang melanggar
larangan-Nya adalah nista. Padahal, mereka saja yang tidak tahu motifnya.
Bahwasanya orang-orang yang terpaksa melanggar larangan-Nya itu ingin sekali
memiliki kehidupan seperti mereka. Hidup dalam keamanan dan kenyamanan.
Memiliki rumah yang benar-benar bisa membuat mereka kembali seperti semula.
Memang, sering kali rasa gusar menghampiri tatkala rumah
yang dititipkan tak sesuai seperti keinginan. Ingin saja memberontak, namun itu
semua hanyalah sia-sia. Sebab ia tak pernah meminta untuk hadir di dunia. Ia
juga tak pernah meminta untuk disembulkan dari rumah yang mana.
Suatu hari nanti, bila Tuhan masih memberikan izin untuk
berada di muka bumi, ia pasti akan mengalami akan hal ini. Kehidupannya pasti
akan berganti, dari yang mulanya hanya mengikuti arahan dari yang lebih tua,
kini harus mencari arahan sendiri. Terlebihnya lagi, bila semesta menitipkan
tanggungan. Yang membuat kewajibannya semakin bertambah.
Rekaman ini ditorehkan tatkala kecemasan hadir dalam
benaknya. Di tengah kesibukannya yang tak mampu digambarkan, tiba-tiba kerisauan
akan masa depan menghampirinya. Sebab itulah ia memutuskan untuk menumpahkannya
di sini. Media yang semoga saja mampu mengobati kegundahannya.
Teguran dari fondasi rumah itu seolah-olah menjatuhkan
mentalnya. Ungkapan yang menyatakan kesia-siaan atas apa yang telah ia
perjuangkan selama ini. Katanya, tiada gunanya memiliki impian selangit, sebab
ujung-ujungnya akan membuat sakit.
Akankah ia harus rapuh? Lalu, jerih payahnya selama
belakangan ini harus diarahkan ke mana? Apakah harus dibuang begitu saja? Namun,
mengingat rumah tak lagi mendukung usahanya, sanggupkah ia bertahan lama?
Posting Komentar
Posting Komentar