Cemas

Posting Komentar
Source by Canva

Kedua netranya menangkap sebuah nukilan rekaman yang menggambarkan dua insan yang tengah berbahagia. Bukan, ia bukannya panas hati akan hal itu. Sebab, masa hidupnya belum tiba sampai situ. Terlalu rendah baginya untuk berada di titik itu. Bekalnya belum mampu untuk mengantarkannya sampai sana.

Sebuah ucapan yang dilafalkan antara pihak wali dari sang mempelai wanita dan ditanggapi oleh mempelai pria. Kalimat yang dilisankan oleh mereka adalah sebuah janji, di masa sejak saat itulah sang ayah menyatakan ketersediaannya untuk melepaskan putrinya. Setelah melalui berbagai macam rintangan, ia akhirnya mempercayai lelaki lain untuk menjaga putrinya yang tercinta.

Inilah kesucian cinta. Sejatinya, cinta itu suci. Yang menodainya adalah nafsu yang tak terkendali. Makanya, ia percaya bahwasanya tiada istilah cinta kecuali setelah janji yang mengikat mereka. Janji yang disaksikan oleh Allah subhanahu wa ta ala. Itu sebabnya, Tuhannya sangat melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan perbuatan itu. Tingkah yang tiada berdampak kebaikan, malah menorehkan kenistaan.

Namun, beraneka ragamnya keadaan penduduk-penduduk di muka bumi inilah yang membuat mereka melanggar larangan-Nya. Tak semuanya yang melanggar itu akan dihakimi sebagai pendusta. Iya, memang ada yang sengaja melakukannya. Namun, harus diketahui terlebih dahulu apa yang membuat mereka melanggarnya?

Sering kali manusia bersikap sok tahu, seolah-olah mereka yang paling tahu dari segalanya. Mereka sok mengatur, seolah-olah setiap manusia di dunia ini kehidupannya sama. Padahal, kenyataannya enggak. Ada yang sudah berada di atas terlebih dahulu, ada juga yang masih di bawah. Ada yang sama-sama mengawali langkah tetapi jalannya tak sama. Ada yang harus melewati jalan mulus dan rata, namun ada juga yang harus melewati jalan yang berbatu dan berkelok.

Mereka seolah-olah menghakimi bahwa orang-orang yang melanggar larangan-Nya adalah nista. Padahal, mereka saja yang tidak tahu motifnya. Bahwasanya orang-orang yang terpaksa melanggar larangan-Nya itu ingin sekali memiliki kehidupan seperti mereka. Hidup dalam keamanan dan kenyamanan. Memiliki rumah yang benar-benar bisa membuat mereka kembali seperti semula.

Memang, sering kali rasa gusar menghampiri tatkala rumah yang dititipkan tak sesuai seperti keinginan. Ingin saja memberontak, namun itu semua hanyalah sia-sia. Sebab ia tak pernah meminta untuk hadir di dunia. Ia juga tak pernah meminta untuk disembulkan dari rumah yang mana.

Suatu hari nanti, bila Tuhan masih memberikan izin untuk berada di muka bumi, ia pasti akan mengalami akan hal ini. Kehidupannya pasti akan berganti, dari yang mulanya hanya mengikuti arahan dari yang lebih tua, kini harus mencari arahan sendiri. Terlebihnya lagi, bila semesta menitipkan tanggungan. Yang membuat kewajibannya semakin bertambah.

Rekaman ini ditorehkan tatkala kecemasan hadir dalam benaknya. Di tengah kesibukannya yang tak mampu digambarkan, tiba-tiba kerisauan akan masa depan menghampirinya. Sebab itulah ia memutuskan untuk menumpahkannya di sini. Media yang semoga saja mampu mengobati kegundahannya.

Teguran dari fondasi rumah itu seolah-olah menjatuhkan mentalnya. Ungkapan yang menyatakan kesia-siaan atas apa yang telah ia perjuangkan selama ini. Katanya, tiada gunanya memiliki impian selangit, sebab ujung-ujungnya akan membuat sakit.

Akankah ia harus rapuh? Lalu, jerih payahnya selama belakangan ini harus diarahkan ke mana? Apakah harus dibuang begitu saja? Namun, mengingat rumah tak lagi mendukung usahanya, sanggupkah ia bertahan lama?

 

Related Posts

Posting Komentar