Perjalanan Menyingkap Teka-Teki - Part 5 Ending

2 komentar
Image by AI Image Gen

Papanya Candra dan seorang rekannya itu terkejut saat melihat keberadaan putranya dan Diva. Tidak ada pilihan lain, Candra akhirnya memegang erat lengan bawahnya Diva. Genggamannya yang begitu kuat memaksa raganya Diva untuk ikut melarikan diri bersama Candra.

Kecepatan berlari mereka berdua sangat cepat, sehingga majikannya dan rekannya itu tak mampu mengejar mereka. Namun, pak Tenno tidak berputus asa. Ia menghubungi anak buahnya untuk mencegat dua anak muda itu di lantai bawah.

Saat mereka telah tiba di lantai pertama, anak buahnya Pak Tenno mengerumuni mereka. Tidak ada pilihan lain, Diva dan Candra harus melawan pasukan itu supaya bisa meloloskan diri. Meskipun lawannya Diva ini badannya lebih besar, namun perempuan itu memberanikan diri untuk menghadapi mereka.

Diva dan Candra bertatapan, mengodekan untuk melawan 10 orang itu bersama-sama. Kerusuhan itu mengagetkan orang-orang yang tengah menikmati suasana dan hidangan di kafe itu. Ada yang ketakutan dan ada juga yang melihat dari kejauhan karena penasaran dengan pertarungan itu. Seorang perempuan yang mengenakan rok dan jilbab menutup dada itu berhasil membuat para pengunjung tercengang.

Malangnya, Diva dibuatnya kalah. Salah satu pasukan musuh memukulnya dari belakang, membuat raga perempuan itu kesakitan dan jatuh tak berdaya. Tindakan musuhnya membuat Candra murka. Kali ini ia bersungguh-sungguh ingin membabat habis musuh-musuh yang ada di hadapannya itu.

Seketika perkelahian itu berhenti saat polisi mendatangi lokasi kejadian. Candra mencegah beberapa musuh yang masih tersisa supaya tidak melarikan diri. Tak terkecuali pak Tenno—papanya Candra—yang niatnya ingin menyelamatkan dirinya sendiri. Namun ternyata, pihak kepolisian telah mengepung berbagai sisi di luar ruko tersebut.

“Div, Diva.” Dengan langkah kakinya yang cepat, Rosa mencari keberadaan sahabatnya.

“Diva, bangun Diva. Kamu enggak kena apa-apa, kan?” tanya Rosa panik sambil menepuk-nepuk pipinya Diva.

“Tadi dia dipukul. Ayo kita bawa ke rumah sakit.” Tanpa berpikir dua kali, Candra menggotong raganya Diva yang sudah terlengar sedari tadi.

***

Thanks ya, sudah nolongin kita.” Candra mengucapkan terima kasih kepada Rosa—temannya waktu mereka menjadi relawan di wilayah yang dijuluki “Sepenggal Surga”. Ternyata, mereka berdua sudah mengenal sejak setahun yang lalu. Rosa sebenarnya juga pernah menceritakan tentang Candra kepada Diva, namun teman satu kosnya itu tidak terlalu mengingatnya. Padatnya rutinitas telah membuat Diva mengabaikan hal-hal yang tak begitu penting bagi dirinya.

“Iya, sama-sama. Aku juga berterima kasih karena kamu sudah mau menolong sahabatku.” Rosa membalasnya dengan raut yang senang.

“Alhamdulillah, misi kita lancar ya. Untung saja kamu dan pihak kepolisian datang di waktu yang tepat.” Candra mengungkapkan kelegaannya itu.

“Tunggu, apa kamu tidak menyesal setelah melakukan semua ini?” tanya Rosa penasaran.

“Masalah ayahku itu? Ah, enggak kok. Bagaimana ya, aku juga sebenarnya enggak tega karena itu ayahku sendiri. Tapi ya, mau bagaimana lagi. Itu kan tindakan kriminal.”

“Salut deh sama kamu. Kamu tetap membela kebenaran, tak peduli meskipun itu orang tuamu sendiri,” puji Rosa kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya.

“Ini semua karena mama tiriku sih. Sejak kehadirannya di keluargaku inilah, papa tak seperti yang kukenal dulu.” Pertanyaan Rosa ini membuat Candra jadi mengingat kembali tentang penyebab ayahnya berubah 180 derajat. Meskipun ayahnya dulu tidak kaya seperti sekarang yang memiliki kafe di mana-mana, namun ayahnya tidak pernah melakukan tindakan keji. Ia adalah pengusaha yang baik dan tidak egois.

“Omong-omong, bagaimana hubunganmu dengan Diva? Kamu masih mau melanjutkan perjuanganmu, atau sampai di sini saja? Mumpung sahabatku masih belum peka nih. Nanti kalau sudah peka, terus kamu tinggalin kan, makin sakit hati itu anak.” Rosa menanyakan kelanjutan hubungan mereka berdua. Ternyata, Candra pernah mengincar Diva sejak beberapa hari setelah ia bekerja di kafe papanya. Apalagi ia tahu bahwa gebetannya itu adalah temannya Rosa. Ia pun tak kesulitan untuk menggali informasi tentang perempuan yang sedang diincarnya.

“Aku sudah pernah berjumpa orang tuanya di kampung halamannya, Kendal. Meskipun alamat yang kamu kasih tahu itu tidak terlalu rinci, tapi akhirnya aku bisa dapat.”

“Terus? Bagaimana respons mereka?” Rosa penasaran dengan kisah temannya yang begitu nekat.

“Aku cuma silaturahmi saja kok. Almarhumah ibuku juga desanya di sana. Mereka mengenal kakek dan nenekku,” papar Candra.

Salah satu perawat memanggil mereka berdua untuk memasuki ruangan. Di dalam kamar pasien, Candra dan Rosa mendengarkan penjelasan dokter tentang keadaan Diva. Orang yang ahli dalam penyakit dan pengobatan itu menjelaskan bahwa sahabatnya itu harus melakukan pemeriksaan radiologi kepala dan leher. Sebab dokter khawatir jika Diva mengalami gegar otak. Hal ini disebabkan karena pukulan mengenai wilayah antara kepala bagian belakang dan lehernya.

Demi kesembuhan Diva, mereka berdua menyanggupi permintaan dokter. Terutama Candra, berapa pun harganya ia akan membayarnya. Ia merasa bersalah akan kejadian tadi. Tidak seharusnya ia membiarkan perempuan itu berkelahi meski memiliki ilmu bela diri.

***

Dua bulan kemudian,

Liburan telah tiba. Diva dan Rosa berniat untuk liburan ke kampung halaman. Kini, Diva tak merasakan lagi rasa sakit di bagian kepalanya. Hal ini dikarenakan ia hanya mengidap gegar otak ringan. Namun, meskipun begitu, ia tetap tidak diperbolehkan menjalani aktivitas fisik yang berat. Ia harus banyak istirahat.

 

 

Related Posts

2 komentar

  1. Mangstap idenya. Tentang perdagangan manusia. Seru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, seneng banget di komen kak Uta. Tencu kak, udah mampir

      Hapus

Posting Komentar