Perjalanan Menyingkap Teka-Teki - Part 3

Posting Komentar
Image by AI Image Gen

Candra menekan tombol yang berada di depan atasnya. Jika tombol yang berbentuk warna merah dan persegi panjang itu ditekan, itu mengisyaratkan kepada sopir bus untuk berhenti di halte berikutnya. Bus tidak akan berhenti di sembarang tempat, kecuali di halte dan terminal.

Meski masih tidak tahu akan rencananya Candra, tapi ia terpaksa untuk tetap mengikutinya. Untung saja Diva memiliki sedikit keahlian bela diri untuk melindungi dirinya jika terjadi hal-hal yang tak diduga. Orang tuanya memang memasukkan Diva ke pelatihan taekwondo sejak ia menduduki bangku kelas lima SD. Sejak saat itulah, olahraga menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Ia tetap bisa bergerak bebas, meskipun selalu mengenakan gamis ataupun rok.

"Ayo, Div." Candra mengajak Diva keluar saat bus berhenti.

"Kita mau ke mana nih?" tanya Diva saat mereka telah tiba di halte.

"Ke kafe," ucapnya dengan raut datar dan tak melihat ke arah Diva.

"Kalau tahu bakal begini, saya lebih baik di bus saja. Tunggu sampai bus berhenti di terminal. Lebih dekat di terminal daripada di sini. Mana cuaca lagi terik-teriknya begini lagi kalau mau jalan kaki." Diva mencerocos dengan sebal. Melihat sikapnya Candra yang mendadak sombong itu membuatnya naik darah. Seharusnya ia tidak mengikuti permintaan laki-laki yang baru ia kenal itu.

"Bukan ke kafe tempat kamu kerja. Tapi ke kafe papa yang satu lagi." Ucapan Candra kali ini membuatnya sedikit lega. Ia baru tahu kalau ternyata bosnya memiliki kafe di Jalan Kenanga. Memang iya sih, dia pernah mendengar kalau bosnya ini memiliki beberapa kafe. Namun ia tidak mengingat letaknya di mana saja.

Diva tetap saja memasang ekspresi tak senang. Baginya Candra tetaplah orang asing, yang belum tentu bisa menjamin keselamatan dirinya. Ia juga tidak tahu mengapa orang yang baru dikenal itu mau mengajaknya ke tempat kerja papanya.

"Kok kita lewat sini?" Diva mulai curiga dengan Candra yang mengajaknya melalui gang yang sempit dan jauh dari keramaian. Wilayah ini adalah belakang ruko, tak jarang hanya ditemukan anjing dan kucing yang berkeliaran di sini.

"Dari sekian banyaknya kafe, kafe inilah yang menyimpan rahasia papa. Aku mau tunjukkan rahasia itu padamu," ucapnya dalam suara berbisik. Ekspresinya kali ini sungguh tegang. Membuat Diva takut untuk bertanya lebih banyak lagi.

Wajar saja Diva banyak bertanya, selain karena asing, perempuan itu juga takut karena hanya mereka berdua yang ada di sini. Tidak ada siapa pun. Ia jadi teringat oleh salah satu hadis yang pernah ia dapatkan dari guru mengajinya dulu. Hadis itu berbunyi,

"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sekali-kali ia berdua-duaan dengan wanita (yang bukan mahram) tanpa disertai oleh mahram si wanita karena ketiganya adalah setan." (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Mengingat hadis ini sesungguhnya membuat Diva ingin melarikan diri. Namun, ia juga penasaran dengan rahasia yang ingin diungkapkan oleh anak bosnya. Barangkali petunjuknya kali ini bisa mengatasi kecurigaannya belakangan ini. Lagi pula, tujuannya melakukan ini adalah demi mendapatkan petunjuk. Tidak lebih dari itu.

“Sssttt... Sssttt... Sssttt...”

Telepon Diva bergetar. Majikannya menelepon. Namun, Candra memintanya untuk tidak mengangkatnya dan menonaktifkan suaranya. Katanya supaya bisa fokus sama tujuannya. Namun, Diva meminta Candra untuk berhenti sebentar saat ia melihat di notifikasi tentang teks percakapan dari bosnya yang bertuliskan, “Cepat ke sini Div. Mr. Jack tidak bisa menunggu lama-lama. Beliau ke sini mau menawarkan kamu beasiswa di Inggris.”

“Enggak usah percaya kamu. Ayo ikut aku, waktu kita tidak banyak nih.” Candra langsung membukakan gembok yang melekat di pagar yang tingginya melebihi tinggi badan Candra.

Setelah pagar berhasil di buka, Diva menatap sekitar. Halaman belakang itu kelihatannya tidak terurus. Tumpukan kayu yang diletakkan sembarangan dan sebagian alasnya yang telah berlumut membuat mereka melangkah dengan pelan-pelan.

Candra mengeluarkan segulungan kertas putih yang bergambarkan hasil tangannya. Katanya, itu sketsa ruangan di dalamnya. Ia menjelaskan kepada Diva tentang seluk-beluk yang harus dilakukannya.

“Tunggu, aku boleh nanya satu hal enggak sama kamu?” tanya Diva kepada Candra.

“Apa?”

“Kenapa kebanyakan para pekerja di kafe papamu itu ibu-ibu? Padahal kalau laki-laki, ada yang sudah menikah dan ada juga yang belum. Awalnya sih saya berpikir, mungkin perempuan yang belum menikah ini tidak mau bekerja di bawah tekanan. Saya sendiri yang sudah berjalan enam bulan juga hampir tidak betah sebenarnya. Tapi, mau bagaimana lagi. Demi menghidupi hidup di perantauan.” Diva akhirnya membuka suara tentang rasa penasarannya yang dipendam selama ini.

“Pertanyaanmu akan terjawab kalau kita berada di sini,” kata Candra dengan menunjukkan sebuah sketsa ruangan yang bertuliskan “The Secret”.

“Kamu ikut aku ya, setelah buka pintu ini, kita langsung ke lantai atas. Oh iya, kita pegang ini saja.” Candra menyerahkan sebuah ranting kayu kering kepada Diva untuk pegangan mereka berdua. Mungkin laki-laki itu ingat perlakuan Diva tadi di dalam bus, yaitu tidak sembarangan menyentuh tangan orang lain. 

Related Posts

Posting Komentar