Candra menekan tombol yang berada di depan atasnya. Jika tombol yang berbentuk warna merah dan persegi panjang itu ditekan, itu mengisyaratkan kepada sopir bus untuk berhenti di halte berikutnya. Bus tidak akan berhenti di sembarang tempat, kecuali di halte dan terminal.
Meski masih tidak tahu akan rencananya Candra, tapi ia
terpaksa untuk tetap mengikutinya. Untung saja Diva memiliki sedikit keahlian
bela diri untuk melindungi dirinya jika terjadi hal-hal yang tak diduga. Orang
tuanya memang memasukkan Diva ke pelatihan taekwondo sejak ia menduduki bangku
kelas lima SD. Sejak saat itulah, olahraga menjadi bagian yang tak terpisahkan
darinya. Ia tetap bisa bergerak bebas, meskipun selalu mengenakan gamis ataupun
rok.
"Ayo, Div." Candra mengajak Diva keluar saat bus
berhenti.
"Kita mau ke mana nih?" tanya Diva saat mereka
telah tiba di halte.
"Ke kafe," ucapnya dengan raut datar dan tak
melihat ke arah Diva.
"Kalau tahu bakal begini, saya lebih baik di bus saja.
Tunggu sampai bus berhenti di terminal. Lebih dekat di terminal daripada di
sini. Mana cuaca lagi terik-teriknya begini lagi kalau mau jalan kaki."
Diva mencerocos dengan sebal. Melihat sikapnya Candra yang mendadak sombong itu
membuatnya naik darah. Seharusnya ia tidak mengikuti permintaan laki-laki yang
baru ia kenal itu.
"Bukan ke kafe tempat kamu kerja. Tapi ke kafe papa
yang satu lagi." Ucapan Candra kali ini membuatnya sedikit lega. Ia baru
tahu kalau ternyata bosnya memiliki kafe di Jalan Kenanga. Memang iya sih, dia
pernah mendengar kalau bosnya ini memiliki beberapa kafe. Namun ia tidak
mengingat letaknya di mana saja.
Diva tetap saja memasang ekspresi tak senang. Baginya Candra
tetaplah orang asing, yang belum tentu bisa menjamin keselamatan dirinya. Ia
juga tidak tahu mengapa orang yang baru dikenal itu mau mengajaknya ke tempat
kerja papanya.
"Kok kita lewat sini?" Diva mulai curiga dengan
Candra yang mengajaknya melalui gang yang sempit dan jauh dari keramaian. Wilayah
ini adalah belakang ruko, tak jarang hanya ditemukan anjing dan kucing yang
berkeliaran di sini.
"Dari sekian banyaknya kafe, kafe inilah yang menyimpan
rahasia papa. Aku mau tunjukkan rahasia itu padamu," ucapnya dalam suara
berbisik. Ekspresinya kali ini sungguh tegang. Membuat Diva takut untuk
bertanya lebih banyak lagi.
Wajar saja Diva banyak bertanya, selain karena asing,
perempuan itu juga takut karena hanya mereka berdua yang ada di sini. Tidak ada
siapa pun. Ia jadi teringat oleh salah satu hadis yang pernah ia dapatkan dari
guru mengajinya dulu. Hadis itu berbunyi,
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sekali-kali ia berdua-duaan dengan wanita (yang bukan mahram) tanpa disertai oleh mahram si wanita karena ketiganya adalah setan." (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Mengingat hadis ini sesungguhnya membuat Diva ingin melarikan
diri. Namun, ia juga penasaran dengan rahasia yang ingin diungkapkan oleh anak bosnya.
Barangkali petunjuknya kali ini bisa mengatasi kecurigaannya belakangan ini. Lagi
pula, tujuannya melakukan ini adalah demi mendapatkan petunjuk. Tidak lebih dari
itu.
“Sssttt... Sssttt... Sssttt...”
Telepon Diva bergetar. Majikannya menelepon. Namun, Candra memintanya
untuk tidak mengangkatnya dan menonaktifkan suaranya. Katanya supaya bisa fokus
sama tujuannya. Namun, Diva meminta Candra untuk berhenti sebentar saat ia melihat
di notifikasi tentang teks percakapan dari bosnya yang bertuliskan, “Cepat ke sini
Div. Mr. Jack tidak bisa menunggu lama-lama. Beliau ke sini mau menawarkan kamu
beasiswa di Inggris.”
“Enggak usah percaya kamu. Ayo ikut aku, waktu kita tidak banyak
nih.” Candra langsung membukakan gembok yang melekat di pagar yang tingginya melebihi
tinggi badan Candra.
Setelah pagar berhasil di buka, Diva menatap sekitar. Halaman
belakang itu kelihatannya tidak terurus. Tumpukan kayu yang diletakkan sembarangan
dan sebagian alasnya yang telah berlumut membuat mereka melangkah dengan pelan-pelan.
Candra mengeluarkan segulungan kertas putih yang bergambarkan
hasil tangannya. Katanya, itu sketsa ruangan di dalamnya. Ia menjelaskan kepada
Diva tentang seluk-beluk yang harus dilakukannya.
“Tunggu, aku boleh nanya satu hal enggak sama kamu?” tanya Diva
kepada Candra.
“Apa?”
“Kenapa kebanyakan para pekerja di kafe papamu itu ibu-ibu? Padahal
kalau laki-laki, ada yang sudah menikah dan ada juga yang belum. Awalnya sih saya
berpikir, mungkin perempuan yang belum menikah ini tidak mau bekerja di bawah tekanan.
Saya sendiri yang sudah berjalan enam bulan juga hampir tidak betah sebenarnya.
Tapi, mau bagaimana lagi. Demi menghidupi hidup di perantauan.” Diva akhirnya membuka
suara tentang rasa penasarannya yang dipendam selama ini.
“Pertanyaanmu akan terjawab kalau kita berada di sini,” kata
Candra dengan menunjukkan sebuah sketsa ruangan yang bertuliskan “The Secret”.
“Kamu ikut aku ya, setelah buka pintu ini, kita langsung ke lantai
atas. Oh iya, kita pegang ini saja.” Candra menyerahkan sebuah ranting kayu kering
kepada Diva untuk pegangan mereka berdua. Mungkin laki-laki itu ingat perlakuan
Diva tadi di dalam bus, yaitu tidak sembarangan menyentuh tangan orang lain.
Posting Komentar
Posting Komentar