Diva berjalan di belakang laki-laki itu sambil memegang
ranting supaya tidak ketinggalan jejak. Ruangan itu tidak ada yang menjaganya.
Oleh karena itu, mereka berdua mudah memasukinya melalui pintu belakang. Pintu
itu hanya di kunci gembok dan beruntungnya Candra memiliki kunci untuk
membukanya.
Di samping pintu, ada tangga untuk menuju lantai atas.
Sementara jika lurus terus, mereka akan menemukan tempat makan yang ramai
dengan pengunjung. Di sana juga ada tangga untuk naik ke lantai selanjutnya.
Namun, itu ruangan untuk para pengunjung. Itulah yang dituturkan oleh Candra
yang sempat membuatku termangu akan rancangan dalam ruangan ruko ini.
Saat mereka telah tiba di lantai dua, badannya Diva mulai
bergetar karena ketakutan. Bukan hal biasa baginya untuk berada di ruangan yang
gelap dan sepi seperti ini. Ia terus mengikuti langkahnya Candra, tanpa
memedulikan ke mana ujungnya. Mereka terus berjalan dan naik tangga hingga tiba
di lantai empat. Bentuk ruangan di dalamnya yang sumpek dan memusingkan itu
sempat membuat Diva ingin rehat sejenak. Namun, rasa takutnya kali ini telah
mengalahkan rasa letihnya. Mau tidak mau, ia harus menahannya hingga misi
mereka selesai.
Lantai empat, menjadi lantai paling atas pada bangunan itu.
Usai tiba di sana, mereka tidak lagi terengah-engah menaiki anak tangga. Kini,
mereka hanya menyusuri jalanan yang berbelok-belok.
"Ini yang mau aku tunjukkan kepadamu," ucap pria
itu sambil membukakan sebuah pintu lipat besi. Ya, kini mereka telah tiba di
tempat tujuan mereka, tempat yang dimaksud dengan “the secret”.
Letaknya yang terlalu atas dan mendalam itu membuat tidak
ada satu orang pun ingin ke sini,
kecuali empunya. Mungkin karena itulah, empunya sengaja menyimpan rahasianya di
sini. Setelah Candra membukakan pemisah antara satu ruangan dengan ruangan
lain, Diva terkejut dengan isi dalamnya. Ruangan yang ukurannya kecil dan diterangi
oleh lampu kuning yang tidak terlalu terang itu ternyata menyimpan banyak sisi
kelam.
“Hah, maksudnya apa ini?” Diva bertanya kepada Candra dengan
suara pelan. Pikirannya berpikir tak keruan saat melihat dua belas foto anak
perempuan yang dipajang di atas papan. Sepertinya ada yang berusia 17 tahun ke
atas dan ada juga yang berusia 17 tahun ke bawah.
“Mereka adalah orang-orang yang dibawa papa ke luar negeri.
Semuanya menjadi buruh di negara orang. Ada yang jadi pembantu, ada juga yang
bekerja di kedai atau kafe seperti kamu.” Anak pak Tenno akhirnya membuka suara
terkait sisi kelam ayahnya itu.
“Jadi, yang papamu katakan di teks percakapan Whatsapp itu,
sebenarnya...” Diva terkejut dengan fakta yang sebenarnya.
“Anak-anak seperti itu polos. Mereka tidak tahu apa-apa.
Pastinya kamu tahu alasannya, mengapa ada anak sampai mau bekerja,” paparnya
yang membuat Diva semakin mengetahui jawaban keraguannya selama ini.
“Anak-anak yang enggak bisa menikmati pendidikan pastinya
tergiur dengan iming-iming pak Tenno. Sekolah di luar negeri dengan gratis, siapa
sih yang enggak mau,” sahut Diva.
“Kamu, kan itu,” kelakar Candra.
“Iya sih. Tapi memang keluargaku enggak pernah menyetujui
kalau aku kuliah di luar negeri. Dan sekarang sudah tahu begini ya, enggak ada minat
ke sana lagi deh.”
“Tek... Tek... Tek... Tek...” Suara langkah kaki itu membuat
mereka mendadak membisu. Candra kemudian mengajak Diva untuk bersembunyi di
lorong kecil supaya orang yang ingin masuk itu tidak mengetahui keberadaan
mereka.
“Pak Tenno.” Diva membatin. Ia sungguh terkejut dengan kedatangan
majikannya di dalam ruangan sempit itu. Ternyata omongan Candra benar. Untung saja
ia mengikuti langkah laki-laki itu. Diva jadi mengerti fakta di balik selama ini.
“Jadi, anak-anak itu bagaimana, pak?” tanya seorang rekan pak
Tenno yang menemaninya ke sini.
“Sungguh, anak-anak yang malang. Gampang sekali memperdayakan
mereka. Sekarang saya ada target satu lagi. Kalau dilihat dari kesungguhannya waktu
saya wawancara dulu, dia tertarik dengan dunia pendidikan. Itulah yang sekarang
saya incar. Kalau target saya kali ini lancar, kita bisa dapat uang banyak,” papar
Pak Tenno.
Ucapan Pak Tenno membuat Diva naik pitam. Bagaimana mungkin majikannya
itu bisa memanfaatkan anak-anak muda untuk memperoleh keuntungannya sendiri. Namun,
ia tidak boleh gegabah. Ia masih ingin mendengarkan rencana-rencana busuk majikannya
itu.
Namun nahasnya, bukannya berhasil, rencananya justru gagal karena
kesalahan Diva. Ruangan yang pengap itu membuat hidungnya gatal dan bersin. Meskipun
Diva mencoba menahan bersinnya, namun usahanya tetap gagal. Suaranya tetap saja
terdengar hingga majikan dan rekannya itu terkejut.
“Siapa itu?” tanya Pak Tenno dengan raut terkejut.
Mereka mencoba mendekati sumber suara itu. Suasana semakin menegang.
Apalagi Diva. Ia merasa bersalah gara-gara suara bersinnya. Tak dapat dibayangkan
bagaimana jika Candra akan menyalahkan dirinya. Ia sendiri takut menatap wajah laki-laki
itu.
Hati Diva berdebar-debar. Ia takut bagaimana jika majikannya
menemui dirinya. Ia hanya berharap semoga Candra bisa melindunginya. Namun, ia juga
tak boleh mengharapkan sepenuhnya, sebab mereka berdua baru saja mengenal.
“Candra, Diva.”
Posting Komentar
Posting Komentar