Perjalanan Menyingkap Teka-Teki - Part 2

Posting Komentar
Image by AI Image Gen

"Hah, jam 8 lewat 10 menit?" Diva terkejut bukan main saat ia membuka kedua matanya dan melihat jam dinding yang menempel di tembok atas. Ia juga mendapati Alysa dan Yana yang masih tertidur di atas tempat tidurnya.

"Ke mana Rosa?" tanyanya dalam hati.

Diva berjalan menuju dapur, siapa tahu akan mendapati Rosa di sana. Sekalian juga menuju ke kamar mandi. Namun, ia tidak menemukan temannya di sana. Rambut hitamnya yang masih berantakan itu hanya mendapatkan nasi goreng yang diletakkan di dalam tutup saji dan secarik kertas yang bertuliskan, "Guys, aku sudah siapkan sarapan untuk kalian. Aku pergi dulu ya."

Perempuan yang menyukai nasi goreng itu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan badannya. Setelah selesai, ia baru membangunkan dua temannya yang masih tidur.

"Alysa, Fitri. Bangun woi. Sudah jam 9 nih." Diva mengguncang-guncangkan badan mereka supaya mereka cepat bangun.

"Jam berapa? Ha, jam sembilan?" Yana terkejut melihat jam yang telah menunjukkan bahwa dirinya bangun kesiangan. Tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya, ia langsung berlari meninggalkan dua temannya.

"Woi Alysa. Bangun. Aku ambil air nih kalau kamu tak bangun-bangun." Kali ini Diva tak sabar melihat temannya yang tak lekas bangun. Untung saja Alysa langsung bangkit saat Diva mau mengambil air untuk dipercikkan ke mukanya Alysa.

"Aku sudah bangun nih. Masih pagi loh ini, Div. Kan hari ini libur," kata Alysa dengan nada lemas.

"Sudah lah, cepat kamu mandi sana biar matamu melek." Diva menarik tangannya Alysa menuju ke kamar mandi.

***

"Rosa pergi ke mana, Div?" Yana bertanya kepada Diva saat mereka sedang menikmati nasi goreng buatan Rosa.

"Aku enggak tahu. Bangun-bangun aku cuma lihat ini," ungkap Diva.

"Enggak tahu ah sama anak itu. Kadang suka hilang tanpa kabar. Semoga saja nanti dia pulang." Alysa yang tengah cemas hanya bisa berharap semoga temannya nanti pulang.

"Sssttt... Sssttt... Sssttt..." Ponsel pintarnya Diva yang diletakkan di sebelahnya bergetar. Dilihatnya sebuah nama yang bertuliskan "Pak Tenno” itu meneleponnya. Ia langsung meminta temannya untuk tidak berisik dan menjawab teleponnya.

“Selamat pagi, pak. Ada apa, pak?”

“Pagi, Diva. Kamu bisa ke kafe sekarang?”

“Hm, maaf pak. Memang ada apa ya?” tanya Diva penasaran.

“Ada yang mau saya bicarakan. Tolong, kamu datang sekarang ya. Maksimal jam 11 kamu sudah di kafe,” pinta majikannya tempat ia kerja tadi malam.

“Baik pak. Saya akan ke sana.” Pak Tenno langsung mematikan obrolannya.

“Kok kamu jam begini sudah disuruh ke sana sih, Div. Untung saja hari ini libur,” gerutu Alysa.

“Mungkin saja bosnya suruh ke sana karena tahu hari ini Minggu,” sambung Yana dengan ekspresi polosnya.

“Kan aku pergi kerjanya jam 5 sore nanti, kenapa sih harus sekarang? Padahal hari ini rencananya aku mau istirahat.” Diva mengeluh. Rasanya berat untuk pergi ke sana. Kalaupun ia tidak bekerja, tapi nanti jam 6 sore sudah masuk jadwalnya untuk bekerja. Sangat disayangkan jika waktu, tenaga, dan uangnya habis hanya gara-gara mondar-mandir.

***

Kurang lebih tiga menit penantiannya, kini bus telah tiba di halte tempatnya menunggu.

“Hai Diva,” sapa seorang pria yang berbadan bongsor dan tengah berdiri di samping Diva.

“Hai,” sambutnya dengan ekspresi kaku. Ia bingung akan lelaki yang menyapanya itu. Kondisi bus yang ramai itu memaksakan Diva untuk harus berdiri.

“Kenalin, aku Candra. Putranya Pak Tenno.” Ia mengenalkan dirinya sembari mengulurkan tangan kanannya.

“Ooh, saya Diva. Maaf ya, saya tidak tahu kalau kamu putranya Pak Tenno,” jawab Diva dengan menangkupkan kedua tangannya yang mengisyaratkan untuk tidak menerima jabatan tangan dari nonmahram.

“Kamu mau pergi kerja?” tanya Candra.

“Kalau menurut jadwalnya sih, jam enam nanti. Tapi, Pak Tenno menyuruhku datang ke sana sekarang.” Diva memaparkan yang sebenarnya kepada Candra.

“Papa ada bilang enggak alasannya?”

“Tadi Diva ada tanya sih. Katanya ada yang mau dibicarakan.”

“Saranku, kamu jangan ke sana. Bahaya untukmu,” perintah Candra seolah-olah ia telah mengetahui kejadian yang akan dihadapkan oleh Diva kelak.

“Ha, memang ada apa? Terus, kalau aku tidak ke sana, nanti aku harus jawab apa kalau ditanya?” Diva mulai tidak mengerti dengan semuanya. Apakah ia harus kembali atau meneruskan perjalanannya.

“Hm, kamu mau enggak ikut aku? Nanti kalau papa telepon, kamu enggak usah angkat,” ajak Candra.

“Ke mana?”

“Kamu tenang saja. Aku tidak ada niat buruk kok. Aku cuma mau kasih gambaran kepadamu yang sebenarnya.” Pernyataan Candra kali ini membuat Diva penuh tanda tanya.

 

Related Posts

Posting Komentar