"Hah, jam 8 lewat 10 menit?" Diva terkejut bukan
main saat ia membuka kedua matanya dan melihat jam dinding yang menempel di
tembok atas. Ia juga mendapati Alysa dan Yana yang masih tertidur di atas
tempat tidurnya.
"Ke mana Rosa?" tanyanya dalam hati.
Diva berjalan menuju dapur, siapa tahu akan mendapati Rosa
di sana. Sekalian juga menuju ke kamar mandi. Namun, ia tidak menemukan temannya
di sana. Rambut hitamnya yang masih berantakan itu hanya mendapatkan nasi
goreng yang diletakkan di dalam tutup saji dan secarik kertas yang bertuliskan,
"Guys, aku sudah siapkan sarapan untuk kalian. Aku pergi dulu ya."
Perempuan yang menyukai nasi goreng itu pergi ke kamar mandi
untuk membersihkan badannya. Setelah selesai, ia baru membangunkan dua temannya
yang masih tidur.
"Alysa, Fitri. Bangun woi. Sudah jam 9 nih." Diva
mengguncang-guncangkan badan mereka supaya mereka cepat bangun.
"Jam berapa? Ha, jam sembilan?" Yana terkejut
melihat jam yang telah menunjukkan bahwa dirinya bangun kesiangan. Tanpa
menghiraukan keadaan di sekitarnya, ia langsung berlari meninggalkan dua
temannya.
"Woi Alysa. Bangun. Aku ambil air nih kalau kamu tak
bangun-bangun." Kali ini Diva tak sabar melihat temannya yang tak lekas
bangun. Untung saja Alysa langsung bangkit saat Diva mau mengambil air untuk
dipercikkan ke mukanya Alysa.
"Aku sudah bangun nih. Masih pagi loh ini, Div. Kan hari ini
libur," kata Alysa dengan nada lemas.
"Sudah lah, cepat kamu mandi sana biar matamu
melek." Diva menarik tangannya Alysa menuju ke kamar mandi.
***
"Rosa pergi ke mana, Div?" Yana bertanya kepada
Diva saat mereka sedang menikmati nasi goreng buatan Rosa.
"Aku enggak tahu. Bangun-bangun aku cuma lihat
ini," ungkap Diva.
"Enggak tahu ah sama anak itu. Kadang suka hilang tanpa
kabar. Semoga saja nanti dia pulang." Alysa yang tengah cemas hanya bisa berharap semoga temannya nanti pulang.
"Sssttt... Sssttt... Sssttt..." Ponsel pintarnya
Diva yang diletakkan di sebelahnya bergetar. Dilihatnya sebuah nama yang
bertuliskan "Pak Tenno” itu meneleponnya. Ia langsung meminta temannya
untuk tidak berisik dan menjawab teleponnya.
“Selamat pagi, pak. Ada apa, pak?”
“Pagi, Diva. Kamu bisa ke kafe sekarang?”
“Hm, maaf pak. Memang ada apa ya?” tanya Diva penasaran.
“Ada yang mau saya bicarakan. Tolong, kamu datang sekarang ya.
Maksimal jam 11 kamu sudah di kafe,” pinta majikannya tempat ia kerja tadi
malam.
“Baik pak. Saya akan ke sana.” Pak Tenno langsung mematikan obrolannya.
“Kok kamu jam begini sudah disuruh ke sana sih, Div. Untung
saja hari ini libur,” gerutu Alysa.
“Mungkin saja bosnya suruh ke sana karena tahu hari ini
Minggu,” sambung Yana dengan ekspresi polosnya.
“Kan aku pergi kerjanya jam 5 sore nanti, kenapa sih harus
sekarang? Padahal hari ini rencananya aku mau istirahat.” Diva mengeluh.
Rasanya berat untuk pergi ke sana. Kalaupun ia tidak bekerja, tapi nanti jam 6
sore sudah masuk jadwalnya untuk bekerja. Sangat disayangkan jika waktu, tenaga,
dan uangnya habis hanya gara-gara mondar-mandir.
***
Kurang lebih tiga menit penantiannya, kini bus telah tiba di
halte tempatnya menunggu.
“Hai Diva,” sapa seorang pria yang berbadan bongsor dan tengah
berdiri di samping Diva.
“Hai,” sambutnya dengan ekspresi kaku. Ia bingung akan
lelaki yang menyapanya itu. Kondisi bus yang ramai itu memaksakan Diva untuk harus
berdiri.
“Kenalin, aku Candra. Putranya Pak Tenno.” Ia mengenalkan
dirinya sembari mengulurkan tangan kanannya.
“Ooh, saya Diva. Maaf ya, saya tidak tahu kalau kamu
putranya Pak Tenno,” jawab Diva dengan menangkupkan kedua tangannya yang
mengisyaratkan untuk tidak menerima jabatan tangan dari nonmahram.
“Kamu mau pergi kerja?” tanya Candra.
“Kalau menurut jadwalnya sih, jam enam nanti. Tapi, Pak
Tenno menyuruhku datang ke sana sekarang.” Diva memaparkan yang sebenarnya
kepada Candra.
“Papa ada bilang enggak alasannya?”
“Tadi Diva ada tanya sih. Katanya ada yang mau dibicarakan.”
“Saranku, kamu jangan ke sana. Bahaya untukmu,” perintah
Candra seolah-olah ia telah mengetahui kejadian yang akan dihadapkan oleh Diva
kelak.
“Ha, memang ada apa? Terus, kalau aku tidak ke sana, nanti aku
harus jawab apa kalau ditanya?” Diva mulai tidak mengerti dengan semuanya. Apakah
ia harus kembali atau meneruskan perjalanannya.
“Hm, kamu mau enggak ikut aku? Nanti kalau papa telepon,
kamu enggak usah angkat,” ajak Candra.
“Ke mana?”
“Kamu tenang saja. Aku tidak ada niat buruk kok. Aku cuma
mau kasih gambaran kepadamu yang sebenarnya.” Pernyataan Candra kali ini
membuat Diva penuh tanda tanya.
Posting Komentar
Posting Komentar