Pertemanan

2 komentar
Image by AI Image Gen

Pepatah tentang “Dunia ini sementara” itu benar adanya. Mungkin, kepedihan yang kita rasakan saat ini kelihatannya cukup lama. Namun, saat kita telah keluar dari kepedihan itu, mungkin kita akan menganggap bahwa itu hanya sebentar saja.

Perjalanan hidupku yang dinamis ini mengajarkan kepadaku, bahwa ada perpisahan di setiap pertemuan. Kita tidak akan bisa mengelak hal itu. Ada saja yang membuat kita berpisah, entah karena faktor dari dalam diri kita ataupun dari luar diri kita. Memang itu sudah sesuai dengan kodrat alam.

Kalaupun yang berpisah ini akan berjumpa lagi, mungkin kehangatannya tak lagi sama seperti dulu. Sebab, perkara hidup yang dijalani setiap dari kita itu berbeda-beda. Mungkin, persoalan yang dihadapi oleh orang itu memiliki bentuk pilihan ganda, sementara persoalan yang dihadapi oleh kita adalah uraian. Palingan, kalau ada yang bisa hangat seperti dulu, itu tidak banyak.

Kata orang, semakin dewasa lingkaran pertemanan kita akan semakin sedikit. Aku juga membenarkan hal itu. Mungkin iya, perkenalan kita akan semakin banyak karena sejak kecil hingga saat ini kita mengenal banyak orang. Namun, orang-orang itu hanyalah lewat dalam perjalanan hidup kita saja. Bukan untuk membersamai langkah-langkah kita.

Ibaratnya, jika saat kita masih kecil, kita tengah berjalan di jalan yang lapang dan tanpa ada batu-batu yang menghadang. Kita seperti berada di wilayah yang strategis, yang mana masih bisa menemukan apa saja yang kita inginkan. Orang-orang pun masih banyak yang hadir menyapa kita karena memang di situlah pusat keramaian.

Namun, saat beranjak dewasa, kita semakin diajak ke pedalaman. Jalanan yang awalnya luas kini menjadi sempit. Mungkin kalau di jalan tadi, bus-bus sering berlalu lalang, maka di jalan ini bus tak lagi mampu menjangkau area ini. Jangankan bus, mobil saja mungkin enggan ke sini. Sebab, selain bentuknya yang sempit karena hanya bisa dilalui satu mobil saja, jalanan ini juga penuh batu dan terjal dangkal. Membuat pengendaranya enggan mengendarai kendaraannya ke wilayah ini. Kecuali jika ada kebutuhan yang amat mendesak baginya.

Saat masa telah mengantarkan kita pada jalan ini, tak ada lagi yang akan menemani, kecuali diri kita sendiri. Kalaupun ada yang benar-benar ingin menemani dengan tulus hati, itu tidak banyak. Hanya satu, dua, ataupun tiga dari sekian banyak perkenalan yang kita miliki.

Pandangan kita pula akan berubah seketika. Mungkin, saat dulu yang masih berada di jalan raya, kita masih sering tergoda untuk membeli semuanya. Ya, mau bagaimana lagi. Semua para pedagang memiliki keahlian untuk memikat para pembeli agar mengeluarkan uangnya demi meraih barang atau jasa yang mereka jual. Mereka mencoba menggoyahkan keteguhan orang-orang yang berada di jalan, yang semulanya tidak mau membeli menjadi membeli. Itulah kekuatan mereka yang amat luar biasa.

Namun, semakin ke tempat yang sepi, pandangan itu berubah. Keinginan yang tadinya menghambur-hamburkan uang, tak lagi kutemukan di sini. Kehidupan masyarakat di desa ini mengajarkanku untuk hidup sederhana. Memperoleh apa saja yang sudah disediakan dari wilayah mereka. Dari sini pula, sifat iri itu tak lagi ada dalam sanubariku.

Kalaupun iri ya, karena termotivasi oleh masyarakat yang ada di sini. Bagaimana mungkin, mereka yang kelihatannya tidak punya ini malah justru sejahtera. Tidak seperti di kota, yang meskipun serba ada tapi belum tentu sejahtera. Mereka—para penduduk desa ini—sama sekali tak pernah mengeluh meskipun jalanan yang menjadi tempat lalu lintas itu tidak rata seperti di kota.

Mereka bilang, justru seperti inilah mereka merasa nyaman. Mereka bisa dengan seenak hati berjalan kaki tanpa merasa terganggu sama orang-orang asing. Sebab, semua yang menduduki wilayah yang terpencil ini saling mengenali, sehingga jika ada apa-apa, mereka dengan sigap akan membantunya.

Kata mereka, mungkin tempat yang masih penuh akan pepohonan ini kelihatannya seram. Namun, mereka telah menganggap bahwa itu sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Selagi mereka tak mengganggu keberadaannya, kehidupan mereka akan aman-aman saja. Sebab, mereka juga makhluk ciptaan Tuhan.

Pertemanan yang pernah kujalin itu, kini hanya menjadi cerita. Kita hanyalah bisa mengandalkan alat potret untuk mengabadikannya. Sekarang, kebersamaan itu sudah bubar karena kita semua sudah saling memencar. 

Related Posts

2 komentar

  1. Hidup di desa itu selalu bisa buat saya bertadabur atas kuasa Allah. Tanpa teknologi canggih, masyaratnya dapat hidup rukun, aman, dan sejahtera. 180° berbanding terbalik dengan hidup di perkotaan. Makannya saya selalu bermimpi bisa hijrah dan tinggal di desa.

    BalasHapus
  2. Hidup di desa memang menyenangkan ya, masyarakatnya juga lebih rukun dari pada di kota.

    BalasHapus

Posting Komentar