Pepatah tentang “Dunia ini sementara” itu benar adanya.
Mungkin, kepedihan yang kita rasakan saat ini kelihatannya cukup lama. Namun, saat
kita telah keluar dari kepedihan itu, mungkin kita akan menganggap bahwa itu hanya
sebentar saja.
Perjalanan hidupku yang dinamis ini mengajarkan kepadaku, bahwa
ada perpisahan di setiap pertemuan. Kita tidak akan bisa mengelak hal itu. Ada saja
yang membuat kita berpisah, entah karena faktor dari dalam diri kita ataupun dari
luar diri kita. Memang itu sudah sesuai dengan kodrat alam.
Kalaupun yang berpisah ini akan berjumpa lagi, mungkin kehangatannya
tak lagi sama seperti dulu. Sebab, perkara hidup yang dijalani setiap dari kita
itu berbeda-beda. Mungkin, persoalan yang dihadapi oleh orang itu memiliki bentuk
pilihan ganda, sementara persoalan yang dihadapi oleh kita adalah uraian. Palingan,
kalau ada yang bisa hangat seperti dulu, itu tidak banyak.
Kata orang, semakin dewasa lingkaran pertemanan kita akan semakin
sedikit. Aku juga membenarkan hal itu. Mungkin iya, perkenalan kita akan semakin
banyak karena sejak kecil hingga saat ini kita mengenal banyak orang. Namun, orang-orang
itu hanyalah lewat dalam perjalanan hidup kita saja. Bukan untuk membersamai langkah-langkah
kita.
Ibaratnya, jika saat kita masih kecil, kita tengah berjalan di
jalan yang lapang dan tanpa ada batu-batu yang menghadang. Kita seperti berada di
wilayah yang strategis, yang mana masih bisa menemukan apa saja yang kita inginkan.
Orang-orang pun masih banyak yang hadir menyapa kita karena memang di situlah pusat
keramaian.
Namun, saat beranjak dewasa, kita semakin diajak ke pedalaman.
Jalanan yang awalnya luas kini menjadi sempit. Mungkin kalau di jalan tadi, bus-bus
sering berlalu lalang, maka di jalan ini bus tak lagi mampu menjangkau area ini.
Jangankan bus, mobil saja mungkin enggan ke sini. Sebab, selain bentuknya yang sempit
karena hanya bisa dilalui satu mobil saja, jalanan ini juga penuh batu dan terjal
dangkal. Membuat pengendaranya enggan mengendarai kendaraannya ke wilayah ini. Kecuali
jika ada kebutuhan yang amat mendesak baginya.
Saat masa telah mengantarkan kita pada jalan ini, tak ada lagi
yang akan menemani, kecuali diri kita sendiri. Kalaupun ada yang benar-benar ingin
menemani dengan tulus hati, itu tidak banyak. Hanya satu, dua, ataupun tiga dari
sekian banyak perkenalan yang kita miliki.
Pandangan kita pula akan berubah seketika. Mungkin, saat dulu
yang masih berada di jalan raya, kita masih sering tergoda untuk membeli semuanya.
Ya, mau bagaimana lagi. Semua para pedagang memiliki keahlian untuk memikat para
pembeli agar mengeluarkan uangnya demi meraih barang atau jasa yang mereka jual.
Mereka mencoba menggoyahkan keteguhan orang-orang yang berada di jalan, yang semulanya
tidak mau membeli menjadi membeli. Itulah kekuatan mereka yang amat luar biasa.
Namun, semakin ke tempat yang sepi, pandangan itu berubah. Keinginan
yang tadinya menghambur-hamburkan uang, tak lagi kutemukan di sini. Kehidupan masyarakat
di desa ini mengajarkanku untuk hidup sederhana. Memperoleh apa saja yang sudah
disediakan dari wilayah mereka. Dari sini pula, sifat iri itu tak lagi ada dalam
sanubariku.
Kalaupun iri ya, karena termotivasi oleh masyarakat yang ada
di sini. Bagaimana mungkin, mereka yang kelihatannya tidak punya ini malah justru
sejahtera. Tidak seperti di kota, yang meskipun serba ada tapi belum tentu sejahtera.
Mereka—para penduduk desa ini—sama sekali tak pernah mengeluh meskipun jalanan yang
menjadi tempat lalu lintas itu tidak rata seperti di kota.
Mereka bilang, justru seperti inilah mereka merasa nyaman. Mereka
bisa dengan seenak hati berjalan kaki tanpa merasa terganggu sama orang-orang asing.
Sebab, semua yang menduduki wilayah yang terpencil ini saling mengenali, sehingga
jika ada apa-apa, mereka dengan sigap akan membantunya.
Kata mereka, mungkin tempat yang masih penuh akan pepohonan ini
kelihatannya seram. Namun, mereka telah menganggap bahwa itu sudah menjadi bagian
dari hidup mereka. Selagi mereka tak mengganggu keberadaannya, kehidupan mereka
akan aman-aman saja. Sebab, mereka juga makhluk ciptaan Tuhan.
Pertemanan yang pernah kujalin itu, kini hanya menjadi cerita.
Kita hanyalah bisa mengandalkan alat potret untuk mengabadikannya. Sekarang, kebersamaan
itu sudah bubar karena kita semua sudah saling memencar.
Hidup di desa itu selalu bisa buat saya bertadabur atas kuasa Allah. Tanpa teknologi canggih, masyaratnya dapat hidup rukun, aman, dan sejahtera. 180° berbanding terbalik dengan hidup di perkotaan. Makannya saya selalu bermimpi bisa hijrah dan tinggal di desa.
BalasHapusHidup di desa memang menyenangkan ya, masyarakatnya juga lebih rukun dari pada di kota.
BalasHapus