Dalam hidup, tentu kita ingin menikmati setiap momen yang kita jalani. Tak peduli apakah momen itu menyenangkan atau peristiwa itu memilukan. Sebab hidup adalah akumulasi dari berbagai peristiwa yang kadang tidak sesuai dengan harapan dan ekspektasi kita. Terkadang kita menjalani fragmen yang kurang menyenangkan, mengecewakan, bahwa membuat kita jatuh dan terpuruk.
Namun sayangnya, studi justru menyimpulkan, generasi muda saat ini lebih sering mengalami depresi, stres, gelisah, dan tidak bahagia dengan hidup yang mereka jalani. Sementara orang-orang tua di zaman dahulu, ternyata hidupnya terasa lebih damai dan bahagia. Mengapa demikian? Ditengarai yang menjadi sebab utama adalah adanya perubahan yang cepat di era globalisasi, perkembangan pesat teknologi, masifnya efek sosial media, serta kompetisi yang semakin tinggi, baik di bidang pendidikan, karier, maupun bisnis.
Terbitnya buku ini semoga menjadi oase untuk mengembalikan kehidupan sebagaimana dijalani kakek nenek kita yang terkesan lambat (slow living), tetapi terasa lebih damai. Diam-diam seperti itulah kehidupan yang dirindukan oleh masyarakat modern, karena setiap hari mengalami kesibukan yang tiada henti dan kehidupan yang serba cepat. Mereka tidak bisa menikmati karunia Tuhan yang setiap saat membanjiri hidupnya. Mereka terus membandingkan pencapaian hidupnya dengan orang lain. Kedamaian hidupnya sangat bergantung pada komentar dan penilaian orang lain terhadap hidup mereka.
Pelajaran Penting dari Buku Menikmati Hidup
Kita ini sering bertaubat, tapi belum tentu nasuha. Sering beristighfar tapi belum tentu hati kita khusyuk. Maka dengan Allah beri ujian itulah ladang kita bersabar agar dosa kita berguguran. Jika semuanya Allah mudahkan dalam hidup, maka dari pintu mana kita akan meraih pahala bersabar?
Kutipan tersebut diambil dari ceramahnya Ustadz Oemar Mita yang pada saat itu menceritakan tentang perjuangan ibunya ketika mengurus dua orang kakaknya ustadz. Begitulah jawaban ibunya ketika ditanya apa tipsnya hingga ia bisa sesabar itu dalam menjalani kehidupan. Dari situ saya belajar bahwa kesulitan dalam hidup adalah cara Allah menempa hamba-Nya supaya menjadi lebih kuat di masa depannya. Dengan meyakini pernyataan tersebut, kita akan belajar bahwa bahagia itu sederhana.
Terdapat topik lain yang juga mengajarkan kepada saya untuk tidak membanding-bandingkan hidup dengan orang lain. Tidak dipungkiri, ketika melihat serangkaian prestasi orang lain di media sosial, kita pastinya akan merasa nothing dan ketinggalan jauh dari mereka. Bahasa kerennya adalah insecure.
Padahal, membandingkan diri sendiri bisa memberikan motivasi tapi juga bisa menimbulkan demotivasi. Motivasinya adalah agar kita semangat untuk mencapai tujuan kita. Namun di sisi lain, dapat membuat kita menjadi down. Apalagi jika pencapaian mereka sudah terlalu jauh dan tak mampu lagi dikejar. Kita jadi bingung harus ngapain dan mulai dari mana. I've been there and sometimes I still think like that.
Cara untuk mengatasinya adalah dengan mengubah pemikiran kita. Mengubah mindset bahwasanya kita tidak sedang berkompetisi dengan siapapun. Kita sedang berkompetisi dengan diri sendiri. Berusaha untuk memaksimalkan hari ini agar lebih baik dari kemarin sehingga kita tidak termasuk orang yang celaka atau merugi.
"Saat ingin mengetahui diri kita bertumbuh atau stuck, jangan gunakan ukuran baju orang lain. Tetapi bandingkan dengan ukuran bajumu di masa lalu. Begitu pun dengan pencapaian diri, tak perlu mengukur dari pencapaian orang lain, tetapi bandingkan dengan versi dirimu di masa lalu." – Ahmad Rifa’i Rif’an.
Potensi yang dimiliki setiap orang berbeda, latar belakangnya pun tak sama, bahkan impian di masa depan juga berlainan. Lantas mengapa harus kita samaratakan? (halaman 11)
Ada juga cerita dari dosennya Mas Rifa'i di ITS Surabaya tentang level pengharapan. Cerita tersebut dianalogikan dengan seorang perempuan yang sangat cantik, muda, santun, dan belum punya pasangan. Perempuan itu sedang membagi-bagikan permen ke sekumpulan anak kecil. Anak-anak itu mendekat dan mengumpul untuk mendapatkan permen tersebut. Tak jauh dari kerumunan itu, ada seorang pemuda jomlo yang memperhatikan kejadian itu. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan jika dia tengah terpesona dengan sesuatu. Terpesona kepada siapa lagi jika bukan ke perempuan itu. Dia akan melakukan cara apa pun demi mendapatkan perempuan itu. Ia juga rela meskipun tak kebagian permen itu. Sekalipun harganya mahal dan rasanya lezat.
Kesimpulannya, pengharapan antara anak-anak dan seorang pemuda tersebut sungguh berbeda. Anak-anak tadi hanya fokus kepada permennya. Sementara pemuda tadi fokus ke perempuan yang membagikan permen. Sehingga, pesan yang dapat kita peroleh adalah semakin dewasa seseorang, maka titik konsentrasi orang tersebut harusnya berubah. Ia tak lagi fokus kepada pemberian-Nya, melainkan kepada Yang Maha Pemberi. Jika kita sudah dekat sama Yang Maha Pemberi, mau dikasih sebanyak atau sesedikit apa pun tidak akan menjadi masalah. Karena menurut-Nya, ini sudah lebih dari cukup dibandingkan dunia dan seisinya.
Ulasan Buku Menikmati Hidup
Jika dulu aku diperkenalkan dengan teman yang mengajarkan keikhlasan dan ketakwaan, maka buku ini mengenalkan lebih dalam lagi tentang dua hal tadi. Ikhlas dan takwa, dua kata yang mudah diucapkan namun kenyataannya jatuh bangun ketika diterapkan.
Saking banyaknya ilmu hidup yang harus diserap dari sini, buku ini saya baca dua kali. Pertama, baca semuanya. Kedua, baca lagi sambil menuliskan pesan-pesan pentingnya.
Buku awal tahun ini mengajarkan cara-cara menikmati hidup berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Dari semua isinya dapat disimpulkan bahwa cara menikmati hidup ada dua, yakni
1. Memfokuskan ke hal-hal yang dapat kita kendalikan dengan bersyukur dan bersabar.
2. Tidak memusingkan hal-hal yang bukan ranah kendali kita dengan bertawakal.
Bacanya aja gampang, suruh sabar, syukur, dan tawakal. Tapi bagaimana penerapannya?
Maka di dalam buku ini menjelaskan secara gamblang mengapa kita sebagai orang beriman kudu bersabar jika ditimpa permasalahan, bersyukur jika dikasih kenikmatan, dan bertawakal jika perjuangan kita belum menampakkan keberhasilan.
Cerita-cerita nyata yang diambil dari pengalaman penulis maupun pengalaman orang lain menguatkan pandangan saya untuk tetap menikmati hidup meskipun hidup terlihat sedang tak berpihak kepada saya. Jika dulunya saya iri dengan pencapaian orang lain, sakit hati karena teman yang sudah akrab tiba-tiba direbut sama teman lain, ditindas secara halus sama teman sendiri, maka di buku ini mengajak saya untuk berdamai dengan semua masalah itu.
Ingin tahu keseruan dari cerita-cerita di dalam buku ini? Sok atuh baca bukunya. Intinya bagi kalian yang butuh amunisi otak dan jiwa, sabi banget baca buku ini. Dengan catatan, cara mengaksesnya harus legal ya, biar ilmu yang didapatkan juga berkah.
Judul buku: Menikmati Hidup
Penulis: Ahmad Rifa’i Rif’an
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: 2022
Dibaca di Ipusnas.
Masyaallah keren nih bukunya kak, dan juga reviewnya . ada di gramedia digital ngga yaa Kak
BalasHapusWah, engga tahu nih kak. Saya belum pernah langganan gramedia digital. Barangkali bisa dilihat di sana dulu deh kak.
HapusSepertinya buku Menikmati Hidup ini akan menjadi bacaan yang memberi banyak insight, terlihat dari reviewnya yang sangat menarik menceritakan esensi dari buku karya Mas Rifai ini
BalasHapusYa pak, kalau dari Amel sendiri menarik banget. Saking menariknya sampe diringkas ke buku, hehe. Gas masukin ke list TBR saja pak, xixixi.
HapusMakna dari bukunya berkesan banget. Membandingkan diri dengan orang lain yang sudah jauh tingkat keberhasilannya memang bikin kita jadi insecure. Kuncinya mau bersyukur dan terus berproses untuk jadi lebih baik lagi ya.
BalasHapusYes, bener kak.
HapusYa, kita sering mengukur danmembandingkan diri dengan ukuran baju orang lain. Padahal kita sudah tahu, rezeki dan takdir kita beda. Jadi kita harusmengukur apakah diri kita sudah lebih baik dari hai kemarin atau sebulan sebelumnya dalam hal apa saja,
BalasHapusBener sekali kak. Masih belajar banyak dalam implementasiannya. InsyaAllah semoga Allah mudahkeun!
HapusWah jadi kepo pengen baca juga nih bukunya. Semoga antrinya gak lama ya hehehe.
BalasHapusBukunya pa Rivai memang bagus bagus memberi kesadaran kepada kita untuk terus dekat sama Allah. Makasih reviewnya ka Amel...
BalasHapus